Selayang Pandang
Empat belas menit perjalanan pulang dari kampus ke kontrakan adalah waktu yang lebih dari cukup untuk melamun tentang semua ini. Tentu sangat tidak disarankan untuk mengendarai motor sambil melamun, terlebih saat angin sedang kencang dan jalanan licin karena hujan. Tapi aku sudah lama melatih kemampuan multi-taskingku: tangan dan mata berkoordinasi untuk menyetir, sementara akal kubiarkan berpikir. Tidak mudah. Perlu satu-dua kecelakaan dan tiga-empat keloid yang membekas di siku dan lutut untuk menguasai kemampuan itu, asal kamu tahu.
Jika ditanya passionku apa, aku akan melamun sebentar, untuk kemudian mendapati jawaban bahwa passionku adalah melamun. Maksudku aku, kamu, bahkan semua orang, suka melamun. Lihat saja bagaimana kita bangun pagi dan penasaran kenapa belum mati, walaupun pada akhirnya tetap bersyukur karena masih hidup. Atau mahasiswa yang masuk kelas tapi otaknya ketinggalan di kosan. Atau karyawan yang terlihat menyedihkan karena sarapan dan makan siang bagi mereka tidak ada bedanya: sama-sama dilakukan jam satu siang. Lucu bagaimana asam lambung menjadi life style abad 21. Semuanya terlihat seperti melamun, terlihat seperti melakukan sesuatu tanpa presensi pikiran mereka disitu. Sadar padahal sebetulnya tepar. Merasa kosong.
Sebaliknya, justru dengan melamun aku merasa terisi. Rasanya seperti memberi nutrisi pikiranku yang di samping mudah lapar, nafsu makannya pun tinggi. Layaknya omnivora, pikiran ini melahap semua. Tidak tersekat oleh perkara yang terlarang untuk dibayangkan. Tidak terbatas oleh diskursus halal atau haram. Dan aku penasaran, bukankah ada semacam mekanisme pencernaan untuk semua makanan ini? Sederhana saja, pasti ada sesuatu yang dikeluarkan untuk setiap yang masuk. Input dan output. Beritahu aku manusia mana yang tidak pernah buang air, sekalipun sulit untuk membayangkan seorang Kylie Jenner duduk di kloset, ngeden. Masalahnya akan jadi feses macam apa pikiran ini bermuara.
Proses pembuatan kerangka konseptual selalu jadi bagian tersulit. Transformasi gagasan yang tercipta di ruang abstrak untuk kemudian menemukan caranya menetas dalam realitas. Ilham pun hadir disambut gerimis. Aku harus menulis.
Terima kasih untuk mendung yang telah menjadi obat sakit mataku atas dunia yang berwarna ini. Warnanya menyala keterlaluan. Saturasi mentok kanan. Dan di tujuh menit terakhir perjalananku ke kontrakan, lahirlah ia: Butavvarna.
With double ‘v’ instead of ‘w’.
Sintesis sempurna atas visi yang sudah terlampau perih disuguhi kemilau duniawi. Warna-warni yang terkesan menyenangkan, tapi terkadang palsu. Terpapar oleh citra pretensius yang kita tunjukkan satu sama lain, sebisa mungkin menyembunyikan warna asli masing-masing. Bagiku, 1 dari 3000 orang dengan buta warna total adalah mereka yang beruntung. Tidak terdistraksi oleh warna yang terkadang menipu, visi monokromatis mereka fokus pada apa yang sebenarnya penting: interpretasi.
Bisa dibilang, menjadi buta warna adalah suatu anugerah, jika tidak bisa dibilang sebagai mukjizat. Sesuai nama dan makna dibaliknya, harapanku sederhana. Dengan ini aku berinterpretasi ria, dan dengan ini aku bebas.